Rekan Rekan Wartawan....... Inilah Kisah 7 Media Bertarung Melawan 'Bandar Judi' di Pengadilan


 Oleh: Subroto, Jurnalis Republika

Jakarta (Indomen)-Wartawan tidak boleh membuat berita berdasarkan opini pribadinya. Mesti ada peristiwa sesungguhnya atau narasumber yang mengatakan tentang hal yang diberitakannya.

Untuk memastikan kebenaran apa yang dikatakan narasumber, perlu dilakukan chek dan rechek. Periksa kembali kebenaran informasi yang didapat itu. Verifikasi berita dilakukan dengan berusaha menghubungi banyak sumber terkait dengan informasi yang sedang dikejar.


Dalam praktiknya, verifikasi itu kadang tak mudah dilakukan. Kadang narasumber yang disebutkan tak bisa dikonfirmasi karena berbagai sebab. Ini kadang membuat masalah jika ada pihak yang merasa  dirugikan.


Dalam UU Pers diatur pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers bisa mengajukan hak jawab. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Permintaan hak jawab bisa dilakukan langsung ke media yang bersangkutan atau melalui Dewan Pers.

Dewan Pers biasanya melakukan mediasi antara pengadu dan media yang diadukan. Namun, sengketa jurnalistik juga bisa berujung ke pengadilan.

Pada 2009 Republika pernah digugat ke pengadilan oleh seseorang yang merasa dirugikan karena pemberitaan tentang dia. Bukan hanya Republika saja yang digugat. Selain Republika digugat pula Detik.com, Harian Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Kompas, Warta Kota, dan RCTI.

Nilai gugatan perdata itu cukup besar. Republika dan Detik.com digugat dengan nilai 3,5 juta dolar AS. Jika penggugat menang, bangunan dan tanah kantor Republika di Jalan Buncit Raya 37, Pasar Minggu, tak akan cukup untuk membayar ganti rugi. Total nilai gugatan untuk tujuh media itu sebesar 16 juta dolar AS.

Kasus ini bermula dengan adanya jumpa pers oleh Bareskrim Mabes Polri pada 24 Oktober 2008. Dalam jumpa pers itu, pihak Mabes Polri mengungkapkan adanya penggerebekan praktik perjudian di Hotel The Sultan, Jakarta, tak jauh dari Polda Metro Jaya.

Polisi menyatakan menangkap 16 orang dalam penggerebekan itu. Polisi juga menyebut satu orang sebagai penyelenggara.

Ada puluhan media cetak dan elektronik yang menghadiri jumpa pers itu. Tak kurang dari 30 media yang memberitakan. Satu tahun kemudian orang yang disebut dalam berita itu menyatakan keberatan dengan penyebutan bandar atau bos judi oleh media. Dia juga merasa tidak dikonfimasi oleh media.

Sang penggugat sebelumnya sudah melayangkan keberatan atas berita itu ke Dewan Pers. Dia meminta hak jawab. Tentu saja hak jawab ini diberikan media secara proporsional.

Persoalannya, pihak media, termasuk Republika menganggap permintaan hak jawab itu berlebihan. Kami diminta untuk membuat iklan permintaan maaf selama tujuh hari berturut-turut di halaman 1 Republika dan media lainnya. Proses mediasi di Dewan Pers belum selesai, gugatan ke pengadilan sudah dilayangkan.

Selain tujuh media, turut tergugat adalah Mabes Polri dan Dewan Pers. Saat melakukan gugatan si penggugat masih berstatus tersangka di Mabes Polri dalam kasus perjudian itu. Pihak penggugat menyatakan, Mabes Polri juga ikut bertanggung jawab lantaran tidak memberikan penjelasan yang proporsional.

Kami menganggap secara jurnalistik tidak salah dengan berita itu. Kami sudah menempuh prosedur yang seharusnya.

Pihak penggugat ditangkap polisi itu merupakan fakta. Bahkan tergugat kemudian menjadi tersangka, dan ditahan oleh Polri sebelum akhirnya dibebaskan karena dianggap tidak bersalah.  

Berita itu berasal dari sumber yang sangat otoritatif yakni Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri). Soal penyebutan bandar judi, menurut kamus Bahasa Indonesia bandar judi itu artinya sama dengan penyelenggara judi.

Sedangkan pihak yang diberitakan tidak dapat dikonfirmasi, karena pada saat jumpa pers itu Polri menyatakan sebagai buron. Tak ada pengacara yang mewakilinya.

Di Republika berita itu dimuat dalam berita kilas pada 25 Oktober 2008. Berita kilas adalah berita straight news yang pendek. Panjangnya sekitar 1.500 karakter saja.

Tapi mau tidak mau gugatan itu harus dihadapi. Kami akan bertarung di pengadilan. Kami menilai gugatan itu bukan sekedar uang. Ini menyangkut kredibilitas kami sebagai media.

Media yang digugat menyewa pengacara Amir Syamsuddin bersama-sama. Aku tak tahu kantor membayar berapa untuk menangani kasus itu. Yang pasti tidak murah.

Amir adalah pengacara kawakan. Belakangan dia sempat menjadi menteri hukum dan perundang-undangan pada masa Presiden SBY.

Tujuh media yang digugat mengadakan serangkaian pertemuan. Umumnya diwakili oleh bagian legal atau pemimpin redaksi. Mungkin karena latar belakangku sarjana hukum, kantor memintaku mewakili Republika bergabung dalam tim untuk mendampingi pihak pengacara menghadapi gugatan itu.

Kami mengadakan rapat-rapat untuk mematangkan persiapan menghadapi gugatan. Lokasi sidang pengadilan tujuh media itu berbeda, tapi materi gugatannya sama.

Kasus ini sebenarnya sederhana saja. Masalah bisa selesai jika saja Mabes Polri mau menjelaskan dalam jumpa pers soal penggrebekan itu pihak Mabes Polri memang menyatakan seperti apa yang diberitakan oleh media.

Anehnya itu tak dilakukan. Beberapa kali tim mengajukan pertemuan dengan Kapolri, tetapi selalu saja ada alasan untuk tidak bertemu, dan akhirnya diwakilkan.

Karena itu kami harus menemukan bukti yang kuat. Kami harus mampu membuktikan bahwa berita yang kami siarkan bukan berita bohong.  

Kejadian itu sudah setahun berlalu. Siapa wartawan yang masih menyimpan dokumen press release Mabes Polri dalam jumpa pers itu? Biasanya tak banyak wartawan yang peduli dengan berkas press release. Seringkali setelah ditulis beritanya, berkas press release langsung dibuang.

Kami menyisir satu per satu wartawan yang meliput acara itu di tujuh media yang digugat. Juga mencari info ke Mabes Polri dan sumber lain.

Ternyata ada wartawan yang masih menyimpan berkas press release itu. Dia wartawan Detik.com. Dia masih menyimpan dokumen press release asli itu dengan baik. Coretan tangannya masih tertera di lembar press release itu.

Itu adalah bukti yang sangat kuat bagi kami untuk dibawa ke pengadilan. Dalam press release itu jelas Mabes Polri menyebut peristiwa penggerebekan judi di Hotel The Sultan. Disebutkan pula ada seseorang sebagai penyelenggara sedang buron.

Karena itu penulisan kata buron oleh media tidak salah. Itu berasal dari polisi, bukan interpretasi wartawan.

Pertemuan-pertemuan terus kami lakukan untuk menghadapi pengadilan. Biasanya pertemuan dilakukan Sabtu atau Ahad dengan tempat berganti-ganti. Kami juga berdiskusi dengan Atmakusumah Astraatmaja, mantan ketua Dewan Pers, yang menjadi saksi ahli kami.

Pada sidang Senin 30 November 2009 di Pengadilan Jakarta Barat dengan tergugat Kompas dan Warta Kota, pihak media menunjukkan bukti press release yang kami punya. Pihak tergugat tampaknya kaget dengan dokumen press release yang masih disimpan baik oleh reporter Detik.com itu.

Hari Rabu 2 Desember 2009 giliran sidang di PN Jakarta Selatan dengan tergugat Republika dan Detik.com, kami kembali memperlihatkan bukti press release itu kepada hakim. Luar biasanya, pihak penggugat juga menunjukkan press release berasal yang berasal dari Mabes Polri.

Hakim memanggil kedua pihak. Aneh, ada dua press release yang berbeda untuk satu acara jumpa pers. Press release yang kami punya ada kata-kata ‘buron’. Press release yang dipunyai pihak penggugat tak ada kata-kata buron.

Hakim menanyai pihak Mabes Polri, mana di antara press release yang benar. Pihak Mabes Polri mengatakan dua dokumen itu sama-sama benar.

Di sidang itu aku bertemu dengan teman kuliahku. Dia bergabung dalam pengacara pihak penggugat. Tidak disangka, kami akan berhadapan sebagai lawan di pengadilan.

Dia tampak cukup piawai sebagai pengacara. Saat sidang dia mencecar saksi wartawan yang kami ajukan. Aku yang berada di dekat tim pengacara kami sudah geregetan ingin ikut bicara. Sayang aku bukan pengacara, aku hanya pendamping saja. Tapi dalam sidang-sidang berikutnya dia tak lagi muncul.

Kami tahu lawan yang akan dihadapi bukan orang sembarangan. Kasus ini juga menjadi pertaruhan bagi media. Jika kami kalah. Ini akan menjadi titik masuk media mudah digugat di pengadilan oleh orang yang merasa dirugikan.

Kami juga menjaga agar hakim tidak ‘masuk angin’. Tim media road show ke sejumlah tokoh.

Kasus ini menjadi perhatian banyak kalangan. Selain tokoh-tokoh pers dan tokoh nasional, juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Melalui Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana, SBY menyampaikan keprihatinannya atas gugatan itu. SBY berharap aparat penegak hukum berhati-hati dalam menangani kasus ini.

Keputusan sidang dengan tergugat Republika dan Detik.com dibacakan pada Senin, 24 Mei 2010 di PN Jakarta Selatan. Kami menunggu dengan cemas. Aku membayangkan, dampak buruk jika Republika kalah di pengadilan.

Walaupun yakin akan menang, tapi hasil sidang sangat tergantung pada pertimbangan hakim. Persidangan itu dipimpin hakim ketua Haswandi dan hakim anggota Artha Theresia, dan Ahmad Salihin.

"Berita yang dibuat Republika dan Detik.com tidak terbukti berita bohong," kata hakim ketua Haswandi membacakan putusannya. (Baca: Pengadilan Menangkan Republika dalam Perkara Raymond)

“Alhamdulillah,” ucapku berulang-ulang. Kami menang. Perjuangan berbulan-bulan tidak sia-sia.

Putusan ini pun disambut gemuruh tepuk tangan dari media yang ikut meliput persidangan. Hakim menyatakan, berita yang dibuat Republika dan Detik.com tidak bertentangan dengan undang-undang, norma asusila, kepatutan, ketelitian, dan keakuratan.

"Dalam pokok perkara, gugatan dari pihak penggugat ditolak seluruhnya," baca Haswandi lagi.

Usai persidangan Amir Syamsudin mengatakan putusan ini bisa jadi acuan dalam gugatan serupa terhadap media yang mungkin muncul di masa depan. Jika sengketa pers terjadi, maka mesti diselesaikan dengan mekanisme yang berlaku. Yaitu, dengan menggunakan hak jawab yang diberikan media.

"Ini patut dijadikan tonggak sejarah," kata Amir. Sama dengan Republika dan Detik.com, lima media lainnya juga memenangkan gugatan itu. (Baca: Kemenangan Pers dalam Kasus Raymond Jadi Tonggak Sejarah)

Bagiku peristiwa ini memberikan banyak pelajaran. Walaupun sudah menempuh prosedur yang benar, wartawan atau medianya bisa saja digugat, apalagi jika sampai berbuat salah.

Tips melakukan verifikasi:
- Pastikan bahwa faktanya ada, baik peristiwanya atau narasumber yang memberi pernyataan
- Usahakan melakukan observasi dan mewawancarai narasumber langsung
- Beritakan peristiwa apa adanya
- Jangan memberikan informasi palsu
- Cek informasi ke narasumber terkait, atau pusat data
- Hubungi pihak-pihak yang terkait dengan peristiwa
- Tetap objektif, berikan para pihak ruang dalam pemberitaan
- Pastikan berita mengandung unsur 5W+1H
- Jangan begitu saja menjadikan media sosial sebagai sumber berita
- Selalu simpan bukti dokumen, foto video, atau rekaman wawancara. (D.c)

0 Komentar