15 posisi korban terdeteksi di reruntuhan ponpes Al Khoziny, sebagian berstatus hitam




Sidoarjo (Indomen) -   Operasi pencarian korban ambruknya gedung Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, terus berlangsung hingga hari ketiga, Rabu (1/10). Sebanyak 15 korban sudah terdeteksi keberadaannya.

Kasubdit RPDO (Pengarahan dan Pengendalian Operasi) Bencana dan Kondisi Membahayakan Manusia (KMM) Basarnas, Emi Freezer, mengatakan dari ke-15 korban tersebut, delapan di antaranya berstatus hitam atau tidak ada tanda kehidupan, diduga meninggal dunia.Tujuh lainnya berstatus merah, artinya masih bisa berkomunikasi. Kepada mereka, tim penyelamat hanya bisa menyalurkan makanan dan minuman melalui celah kecil.

"Kami hanya bisa men-deliver suplemen melalui celah kecil yang ada di main kolom yang ada di tengah," kata Emi dalam konferensi pers di Posko SAR Gabungan, Sidoarjo, Rabu (1/10), seperti diberitakan CNN Indonesia.

Saat ini prioritas tim penyelamat adalah mengevakuasi korban yang diketahui masih hidup. Evakuasi korban berstatus hitam, kata Emi, tidak bisa dilakukan karena tubuh mereka terhimpit kolom besar di lantai dasar bangunan.

Bangunan tiga lantai itu ambruk pada Senin lalu ketika 140 orang santri tengah salat Asar berjamaah.

Kepala Kantor SAR Kelas A Surabaya Nanang Sigit pada Selasa mengatakan bahwa 102 santri berhasil dievakuasi, 91 di antaranya melakukan evakuasi mandiri sesaat setelah kejadian.Sebanyak 11 santri berhasil dievakuasi tim penyelamat dari dalam reruntuhan, tiga diantaranya meninggal dunia.

Dikutip Antara, Nanang mengatakan hingga kini yang menjadi kendala tim dalam mengevakuasi korban adalah tingkat kerentanan reruntuhan yang berpotensi kembali ambruk.

Hal ini juga yang membuat mereka tidak bisa menggunakan alat berat. Emi mengatakan bahwa tim saat ini tengah membuat terowongan untuk menyelamatkan korban yang terhimpit reruntuhan dan tidak bisa bergerak.

TIDAK ADA IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

Bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny jadi sorotan Bupati Sidoarjo, Subandi, karena diduga tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Saat meninjau lokasi pada Selasa, ia menemukan bangunan tiga lantai itu berdiri tanpa dokumen resmi. “Ini saya tanyakan izin-izinnya mana, tetapi ternyata nggak ada. Ngecor lantai tiga dengan konstruksi tidak standar, jadi akhirnya roboh,” kata Subandi,.

Ahli Struktur Teknik Sipil ITS, Mudji Irmawan, menuturkan bangunan ponpes itu pada mulanya hanya didesain untuk satu lantai. Namun, lantaran jumlah santri meningkat, pengelola memutuskan menambah hingga tiga lantai tanpa perencanaan konstruksi yang memadai.Mudji menjelaskan, perubahan desain tanpa perhitungan teknis menyebabkan daya tampung bangunan terlampaui. Beban yang seharusnya 100 persen justru meningkat hingga tiga kali lipat. “Yang semestinya hanya 100 persen berubah jadi 200 persen bahkan 300 persen. Inilah salah satu faktor utama yang membuat lantai satu dan dua tidak sanggup menahan tekanan,” katanya.( Ind/CD)



0 Komentar